
Lampungjaya.news, Kotabumi – Dana BOS 2025 digembar-gemborkan sebagai solusi keuangan bagi sekolah di seluruh Indonesia. Namun, benarkah dana triliunan rupiah itu telah menjangkau yang paling membutuhkan? Pemerintah mengalokasikan Rp59,2 triliun untuk BOS tahun ini, termasuk untuk sekolah-sekolah di wilayah 3T.
Tapi laporan di lapangan menunjukkan cerita berbeda: masih banyak sekolah dengan ruang kelas rusak, guru honorer tak bergaji layak, hingga kekurangan sarana belajar.
Padahal skema baru berbasis “satuan biaya majemuk” disebut-sebut sebagai langkah progresif.
Faktanya, kebijakan tersebut belum cukup menjawab kebutuhan riil sekolah di daerah tertinggal. Ketimpangan tetap menganga dan semakin mencolok antara sekolah di kota besar dan mereka yang ada di pelosok negeri.
Di atas kertas, pendekatan satuan biaya majemuk dalam Permendikbudristek No. 8 Tahun 2025 memang tampak menjanjikan: sekolah dengan kondisi geografis sulit atau keterbatasan infrastruktur seharusnya menerima porsi anggaran lebih besar.
Namun kenyataannya, banyak sekolah di ruang kelas rusak, tidak ada akses listrik stabil, dan sulitnya mendapatkan bahan ajar.
Biaya transportasi logistik pendidikan di daerah 3T bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dibanding daerah biasa. Sayangnya, BOS belum cukup adaptif dalam memperhitungkan kebutuhan ekstra ini.
Sejumlah guru di daerah ini masih menerima gaji di bawah UMR bahkan dari dana hasil iuran orang tua siswa. Hal ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan fiskal, tapi juga menunjukkan bahwa instrumen anggaran belum sepenuhnya berpihak pada kelompok paling membutuhkan.
Sekolah Swasta Terpinggirkan: Dana BOS yang Tak Menyapa Semua
Kritik juga datang dari asosiasi sekolah swasta yang menilai alokasi BOS cenderung mengutamakan sekolah negeri. Berdasarkan data dari Koalisi Pendidikan Indonesia (2025), hanya sekitar 18% sekolah swasta kecil yang menerima BOS secara penuh.
Banyak sekolah swasta di daerah semi-perkotaan tidak mendapatkan dana karena masalah administratif atau dianggap tidak prioritas. Hal ini menciptakan ketimpangan sistemik di sektor pendidikan. (LJ)