
Lampungjaya.news, Tubaba – Konflik di tubuh Badan Kerja Antar Gereja (BKAG) Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) terus bergulir panas.
Setelah pemilihan pengurus pada 25 Agustus 2025 di Gereja Tuhan Margo Dadi, bukannya membawa semangat baru bagi umat, justru menimbulkan gejolak dan perpecahan.
Sebanyak tujuh pengurus terpilih kompak mengundurkan diri, dengan alasan beragam — mulai dari ingin fokus di gereja, tak puas dengan proses pemilihan, hingga menilai ketua terpilih tidak memenuhi kriteria.
Namun, aroma provokasi dua oknum berinisial W dan M kian kuat mencuat ke permukaan.
Ketua Panitia Pemilihan, Pendeta Joko Wananto dari Tirta Makmur, mengakui sejak awal dirinya tidak begitu berminat memimpin proses pemilihan, namun didorong oleh rekan-rekan untuk tetap maju.
“Saya sebenarnya tidak minat, tapi didorong terus. Setelah ada persoalan, kami kembali ke AD/ART karena kedaulatan tertinggi adalah gereja-gereja. Saya hanya moderator, bukan pengambil keputusan,” ujarnya.
Joko menjelaskan, saat terjadi kisruh, pihaknya telah mengundang perwakilan gereja untuk membahas langkah selanjutnya. Namun, rapat berakhir buntu.
“Kita sempat voting, hasilnya seri — sepuluh banding sepuluh. Artinya, gereja tidak mau pecah. Akhirnya disepakati menenangkan situasi dulu, baru nanti pemilihan ulang,” katanya.
Joko menegaskan, hasil rapat memutuskan seluruh calon lama tidak boleh mencalonkan diri kembali, demi menenangkan situasi dan menjaga netralitas.
“Tujuh orang yang mundur tidak diizinkan ikut lagi dalam satu periode. Biar tenang. Untuk dua nama inisial W dan M, nanti kami bahas karena itu menyangkut konflik pribadi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Joko menuturkan bahwa sebelum kisruh meledak, pihaknya sempat menemui ketua terpilih bersama Yedi dan Muhtar, namun komunikasi tak berlanjut.
“Kami sudah datangi ketua terpilih, ngobrol baik-baik, netral. Tapi di rapat kedua beliau tidak hadir,” ungkapnya.
Menariknya, Joko menyebut bahwa isu provokasi dan manuver di belakang layar muncul beberapa hari setelah pemilihan.
“Ada yang dulu saya sudah ingatkan soal rekam jejak calon, tapi setelah pemilihan malah koar-koar di belakang lalu mundur. Ini yang jadi aneh,” ucapnya kesal.
Sementara itu, Pendeta Yedi Wibisono dari Gereja Candra Kencana, yang juga turut memantau proses transisi BKAG, menegaskan bahwa pemilihan telah dilakukan sesuai AD/ART dan berlangsung secara terbuka.
“Pemilihan BKAG itu tiga tahun sekali, dan kita mengacu pada AD/ART. Persoalannya muncul setelah hasil keluar, beberapa pengurus mundur dengan berbagai alasan,” jelas Yedi.
Menurutnya, alasan pengunduran diri bermacam-macam melalui surat tertulis dan sebagian disampaikan lewat pesan WhatsApp.
“Ada yang sakit, ada yang mau fokus di gereja, ada juga yang merasa kurang puas dengan proses pemilihan,” katanya.
Namun Yedi menolak menyebut adanya provokator.
“Saya tidak menyebutnya provokator, karena setiap orang punya pandangan. Kalau ada persoalan personal, itu di luar lembaga,” pungkasnya.
Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa gejolak BKAG Tubaba belum reda.
Rapat terakhir yang seharusnya menata ulang organisasi justru membuka luka baru — memperlihatkan ambisi dan kepentingan pribadi yang mencoreng nama lembaga rohani itu sendiri.
Kini publik menanti langkah nyata para pemuka gereja:
Apakah mereka akan menegakkan kebenaran sesuai AD/ART, atau justru membiarkan BKAG Tubaba tenggelam dalam konflik, provokasi, dan kepentingan sempit.(Jhn)