Berjibaku Hidupi Lima Jiwa, Asrori (50) Bertahan Dibawah Hunian Yang Menyayat Hati

Lampungjaya.news, Tanggamus – Di sudut RT 8, Pekon Banjarsari, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, berdiri sebuah siluet duka yang dihuni lima jiwa. Di sinilah Asrori (50), seorang buruh serabutan, setiap malam menggantungkan nasib keluarga di bawah kanvas atap yang telah usang.

Rumahnya, yang seharusnya menjadi pelabuhan perlindungan, kini adalah sebuah perahu reyot yang terancam tenggelam, sebuah potret yang menuntut keadilan dari hati nurani kolektif. Rabu (19/11/2025)

Tubuh dan Jiwa di Bawah Langit yang Bocor

​Asrori, dengan bahu yang memikul beban empat mulut, menyaksikan impian akan hunian layak, luntur dimakan rayap kemiskinan. Kondisi ekonomi yang jauh dari kemapanan telah merantai tangannya, membuat upaya perbaikan rumah sebatas angan yang tertiup angin.

​Faktanya, rumah kayu itu kini lebih menyerupai sangkar yang rapuh. Dindingnya bukan lagi penyangga kokoh, melainkan lembaran kayu yang lapuk, siap berpisah dari tiangnya.

Paling pilu, atap rumah itu telah menjelma menjadi jaring yang berlubang, menyambut setiap tetes hujan dengan kesetiaan yang menyakitkan.

​”Setiap hujan menyentuh bumi, kami sekeluarga harus berlomba mencari titik kering di lantai. Kadang kami harus terjaga hingga fajar, sebab air menyerbu masuk ke ruang tidur anak-anak,” ujar Asrori dengan nada yang tidak lagi pilu, melainkan getir. Suaranya adalah manifestasi perjuangan yang tak pernah mengenal kata jeda.

Jeritan Tetangga dan Harapan yang Terabaikan

​Kondisi menyedihkan ini tak luput dari perhatian lingkungan sekitar. Rasa keprihatinan masyarakat setempat telah lama membuncah, diiringi pertanyaan tentang keadilan program pemerintah.

​Seorang tetangga Asrori yang enggan disebutkan namanya, menyampaikan kegelisahan kolektif.

​”Kami di sini sangat prihatin dengan keadaan rumah Pak Asrori. Pertanyaan kami, kapan beliau ini dapat diajukan bantuan dari pemerintah untuk bedah rumah? Karena setiap ada bantuan bergulir, nama beliau tidak pernah muncul,” tuturnya dengan nada penuh harap yang terselip rasa kecewa.

​Pengakuan ini menjadi celah ironi, bahwa di tengah program pemerintah yang masif, masih ada celah yang meninggalkan warga paling rentan dalam daftar tunggu tanpa kepastian.

Respon Pemerintah Pekon

​Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat (Kasi Kesra) Pekon Banjarsari, membenarkan bahwa Asrori telah masuk dalam daftar pengajuan bantuan perbaikan rumah.

​”Benar, Pak Asrori memang sudah pernah kami ajukan. Total ada 70 KK (Kepala Keluarga) yang kami ajukan untuk bantuan bedah rumah ke tingkat Kabupaten.

Namun, kuota yang turun tahun ini hanya untuk 10 KK, dan mohon maaf nama Pak Asrori belum termasuk dalam daftar penerima tahun ini,” jelas Kasi Kesra, saat di temui di kantor pekon, Rabu 19 November 2025

​Keterangan ini memberikan konteks bahwa nama Asrori telah masuk dalam daftar tunggu yang panjang, menunjukkan bahwa penantiannya adalah bagian dari keterbatasan kuota program pemerintah.

Amanat Undang-Undang di Balik Dinding yang Lapuk

​Kisah Asrori bukan hanya sekadar cerita kemiskinan; ini adalah isu pemenuhan hak dasar warga negara. Secara konstitusional, jaminan kepemilikan rumah layak huni telah diamankan oleh negara.

​Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya dalam Pasal 28H ayat (1), secara tegas menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Amanat ini diperkuat dalam

​Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab menyelenggarakan perumahan layak bagi rakyat.

​Dengan dasar hukum yang jelas, tuntutan akan keadilan bagi Asrori dan keluarganya tidak lagi hanya bersifat kemanusiaan, melainkan telah menjadi sebuah keharusan hukum bagi Pemerintah Pekon Banjarsari, Dinas Sosial, dan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Tanggamus.

Panggilan Kepada Hati Nurani

​Kisah rumah Asrori adalah elegi tentang ketimpangan. Artikel ini berdiri sebagai saksi, ini tidak menyerukan belas kasihan, melainkan mendesak sebuah pertanyaan mendasar: Sampai kapan janji kemerdekaan dan amanat konstitusi akan terhalang oleh atap yang retak, membiarkan sebuah keluarga berjuang sendirian di bawah langit yang bocor? ( Rizal )