
Lampungjaya.mews, Tubaba – Dugaan penjualan pupuk subsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) oleh Gapoktan Salun Tanjungan, Kecamatan Tulang bawang udik Kabupaten Tulang Bawang Barat, memicu kritik keras dari Lembaga Pelat Merah (LPM) Tubaba. Senin, (07/07/2025)
Ketua LPM Tubaba, Junaidi Farhan, menyebut praktik semacam ini adalah bentuk penyimpangan terhadap regulasi distribusi pupuk subsidi.
“Pemerintah sudah menetapkan HET agar petani tidak terbebani. Jika dijual di atas harga, ini jelas pelanggaran dan merugikan petani,” tegasnya kepada media.
Kasus ini terungkap setelah seorang petani mengaku ditawari pupuk subsidi sebanyak dua kuintal seharga Rp600.000, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Pupuk tersebut berada di gudang Gapoktan, namun disebut masih milik anggota bernama Robin, sehingga transaksi batal dan uang dikembalikan.
Saat dikonfirmasi, Ketua Gapoktan Weli Suryadi membenarkan adanya permintaan pupuk dari seorang petani. Ia mengaku belum memberikan pupuk tersebut karena belum mendapat izin dari Robin selaku pemilik.
“Saya tanya dulu ke Robin, ternyata dia tidak mau jual. Jadi uang petani saya kembalikan,” ujar Weli.
Namun pernyataan Weli makin memantik tanda tanya saat ia mengakui bahwa harga jual pupuk subsidi di kelompoknya memang berada di atas HET. “Kami sepakat harga Rp300.000 per paket (urea dan Phonska) karena ada biaya transportasi, bongkar muat, dan operasional lainnya,” ucapnya.
Padahal, berdasarkan aturan pemerintah, pupuk subsidi tidak boleh dijual melebihi HET, apa pun alasannya. Kenaikan harga dengan dalih “kesepakatan kelompok” atau “biaya tambahan” tetap dianggap melawan hukum dan bisa dikenai sanksi.
LPM Tubaba mendesak Dinas Pertanian dan aparat penegak hukum segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran ini.
“Kami minta instansi terkait tidak tutup mata. Jika dibiarkan, ini akan menjadi celah bagi oknum-oknum lain mempermainkan hak petani,” tegas Junaidi.
Masyarakat petani berharap pemerintah hadir menertibkan distribusi pupuk subsidi agar tepat sasaran, tepat harga, dan tidak menjadi ladang bisnis kelompok tertentu yang justru menindas petani kecil.(Jhn/tim)