Kisruh BKSAG Tubaba Merembet ke Media — Pendeta Sentil Wartawan, Ucapannya Bikin Geram

Lampungjaya.news, Tubaba – Kisruh yang melanda tubuh Badan Kerja Sama Antar Gereja (BKSAG) Kabupaten Tulang Bawang Barat tampaknya belum menemukan titik damai.

Alih-alih menyatukan persepsi dan menenangkan situasi, konflik justru semakin melebar — kali ini menyeret nama seorang pendeta yang menyentil wartawan dengan pernyataan kontroversial.

Dari fakta di lapangan, perdebatan dan kompromi antara pengurus BKSAG kini justru berpindah ke grup WhatsApp internal, tempat para pendeta saling mengingatkan demi menjaga wibawa gereja. Namun, suasana yang seharusnya teduh itu mendadak panas ketika Pendeta Bambang Warsito mengeluarkan komentar yang membuat banyak pihak terkejut.

Dalam grup tersebut, Bambang menyentil keberadaan wartawan dengan kalimat yang dianggap menyerang profesi jurnalis.

Ia menulis kalimat yang maknanya: “Pemilihan pengurus BKSAG undang wartawan online, uang jalannya lumayan.”

Pernyataan ini langsung memicu reaksi keras dari sejumlah pihak. Saat dikonfirmasi, Bambang mencoba memberikan klarifikasi pada Selasa 14 Oktober 2025, namun justru menambah api kontroversi.

“Saya ini masyarakat biasa di tiyuh, kebetulan ketua koperasi. Dari cerita-cerita yang ada, dulu tahun 2014 saat saya jadi panitia, ada media datang dan mereka meminta sesuatu. Saya tidak menuduh wartawan, hanya ingin menyampaikan pengalaman saya,” ujarnya dengan enteng.

Tak berhenti di situ, Bambang bahkan menegaskan bahwa pernyataannya itu memang disengaja untuk “menyentil”.

“Saya tidak mengarah ke sana, tapi saya ingin menyentil. Kenapa hal begini saja harus ke wartawan, kenapa tidak diselesaikan secara internal dulu? Kecuali sudah deadlock, baru silakan publik tahu,” ucapnya tanpa penyesalan.

Pernyataan yang terkesan meremehkan fungsi pers itu pun menuai kecaman.

Sebab, dalam konteks transparansi lembaga rohani, kehadiran media justru menjadi bagian dari kontrol publik, bukan untuk disindir apalagi dicurigai.

Ironisnya, di bagian lain wawancaranya, Bambang juga melontarkan kalimat yang justru menampar citra lembaga rohani itu sendiri.

“Terkaitnya bukan karena konflik pemilihan tetapi karena personal. Ada dua kemungkinan, kita ini rohani tetapi nyatanya kita enggak rohani,” ujarnya blak-blakan.

Sebagai seorang pendeta, ucapannya tentu menimbulkan tanya besar:

Apakah perpecahan di BKSAG ini memang disebabkan oleh ego pribadi dan kepentingan sempit, hingga nilai-nilai rohani yang diajarkan di mimbar justru hilang di ruang rapat?

Saat dimintai tanggapan lebih jauh mengenai persoalan inti BKSAG dan dua sosok berinisial YW dan MO, Bambang justru mengaku tidak lagi aktif sejak pandemi Covid-19 dan tidak hadir saat pemilihan pengurus.

“Saya tidak bisa memberikan analisa karena sudah tidak terlibat. Banyak yang mundur karena alasan pelayanan. Jadi tidak etis kalau saya berkomentar,” kilahnya.

Namun ketika ditanya mengenai dua nama yang menuding ketua terpilih tidak layak secara moral, Bambang menjawab dengan nada mengambang.

“Itu subjektif, mungkin pandangan mereka berbeda. Saya sudah tidak terlibat karena saya pendeta profesional, tidak melayani secara penuh,” ujarnya menutup percakapan.

Kini publik menilai, kisruh BKSAG Tubaba bukan lagi sekadar persoalan organisasi — tapi sudah masuk ke ranah etika, moral, dan keteladanan rohani.

Di saat para jemaat membutuhkan ketenangan dan pemimpin yang meneduhkan, yang muncul justru pertikaian, sindiran, dan sikap saling tuding antar pendeta.

Pertanyaannya kini sederhana namun menohok:

Jika para pemimpin rohani sendiri tidak mampu menjaga lidah dan kehormatan gereja, lalu siapa yang akan menjadi teladan bagi umat.(Jhn)