
Lampungjaya.news, Tubaba – Polemik kandang babi di Tiyuh Makarti, Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat, semakin menimbulkan pertanyaan besar. Saat awak media mendatangi lokasi, terlihat belasan ekor babi sedang dimuat ke dalam mobil L300 untuk dijual ke Lampung Tengah.
Diperkirakan 12 ekor babi ukuran sedang dimuat di bagian atas mobil, sementara bagian bawah sudah penuh dengan babi yang lebih kecil. Kandang yang cukup luas itu disebut mampu menampung ratusan ekor, dengan sisa 10 indukan masih berada di dalamnya.
Seorang penjaga kandang bahkan menyebut terang-terangan bahwa kandang tersebut milik Arman, Sekretaris Desa Makarti.
“Ada celeng punya Pak Arman. Kapasitas muatan kandang 40–50 ekor, yang besar itu indukan,” ungkap penjaga.
Namun keterangan ini justru dibantah langsung oleh Arman. Ia menegaskan dirinya tidak pernah memiliki usaha ternak babi.
“Saya katakan itu tidak benar, saya juga muslim. Saya tidak punya usaha ternak babi di Makarti,” ujarnya.
Arman mengklaim bahwa izin usaha diberikan oleh masyarakat sekitar kandang, sementara soal warga muslim yang tidak pernah dimintai persetujuan, ia mengaku tidak tahu-menahu.
“Lokasi kandang itu jauh dari pemukiman, sekitar setengah kilo. Soal izin, yang memberi izin itu masyarakat sekitar kandang,” pungkasnya.
Anehnya, pernyataan Arman justru bertolak belakang dengan pengakuan warga sekitar. Mereka menegaskan tidak pernah menandatangani atau memberikan izin apapun.
“Di sini tidak pernah ada tanda tangan warga. Izin hanya dari aparatur Tiyuh. Kami tidak pernah mendapat apa-apa dari hasil panen,” tegas seorang warga.
Fakta inilah yang menimbulkan kecurigaan. Warga menilai ada kejanggalan dalam perizinan, terlebih usaha peternakan babi berdiri di wilayah dengan mayoritas penduduk muslim.
Keberadaan kandang babi jelas menimbulkan keresahan, namun hingga kini belum ada sikap tegas dari aparatur kampung.
Jika aparat sendiri sudah disebut-sebut terlibat, lalu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab? Mengapa suara masyarakat terus diabaikan?
Polemik ini kini menunggu tindakan nyata dari pemerintah daerah sebelum keresahan warga berubah menjadi konflik sosial yang lebih besar. (Jhn)