REALITAS PERAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)  DAN PROSPEK DI  MASA MENDATANG
Spread the love

Lampungjaya.NET, Way Kanan – Menurut Alius Setiawan, S.H Ketua Bidang Hukum dan HAM
DPD KNPI WAY KANAN, Realitas DPD yang baru terbentuk Dua periode menumbuhkan anggapan bahwa DPD secara kelembagaan dan terutama fungsinya, belum tersosialisasikan secara penuh seperti lembaga tinggi negara lain yang baru terbentuk sebagai hasil amandemen UUD 1945, misalnya mahkamah konstitusi (MK).

Dalam suatu acara Temu Wicara, ketua MK bercerita bahwa anaknya disalahkan oleh gurunya saat menjawab pertanyaan, salah satu lembaga tinggi negara adalah MK, justru gurunya menyebutkan jawaban yang benar adalah DPA (padahal DPA sudah dihapus). Ini menunjukkan lembaga-lembaga tinggi negara hasil amandemen UUD 1945 belum tersosialisasikan dengan baik.

Hal itu pun menimbulkan anggapan bahwa kinerja para anggota DPD belum teruji, kualitas para anggotanya belum nampak, dan belum semua anggota dikenal kiprahnya di masyarakat daerahnya masing-masing.

Para anggota DPD dianggap tidak memiliki agenda rutin yang jelas bagi daerahnya, baik secara personal maupun kolektif (4 orang wakil setiap daerah). Mereka sering dianggap mencari popularitas sendiri-sendiri dan terlihat sibuk hanya bila ada kasus-kasus besar yang mencuat di daerah. Ada juga anggota DPD yang lebih sibuk dengan urusan-urusan organisasi massa (ormas) asalnya (Muhammadiyah, NU, dll).

Indikasi ini semakin buruk dengan semakin banyaknya anggota DPD yang berusaha alih fungsi dengan mencalonkan diri pada pemilihan-pemilihan kepala daerah, baik sebagai gubernur, bupati, walikota, atau wakilnya. Apapun alasannya, mereka dianggap tidak pernah serius menjadi anggota DPD sehingga terkesan hanya sekedar mencari jabatan yang lebih empuk.

Realitas lain, para anggota DPD belum mampu membangun komunikasi politik dan koordinasi secara berkala untuk meningkatkan kapasitasnya dengan para anggota DPR sedaerah, DPRD, eksekutif, yudikatif, lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sosial budaya, serta konstituen di daerahnya. Sehingga setiap anggota DPD di provinsi belum mampu berperan sebagai wakil daerah yang menyerap secara efektif aspirasi dan persoalan-persoalan daerah.

Oleh karena itu, meski mendesak, kondisi bangsa saat ini tidak cukup realistik untuk melakukan amandemen kembali atas konstitusi dalam jangka pendek. Pasca Pemilu serentak 2019, pertama-tama yang mendesak adalah revisi menyeluruh atas UU bidang politik yang mencakup UU Pemilu, UU Pilpres, UU Partai Politik, UU Susduk, dan UU Pemerintahan Daerah.

Revisi UU bidang politik tidak pernah menjanjikan perubahan secara mendasar. Namun, melalui revisi yang bersifat menyeluruh, terarah, konsisten, dan visioner, kecenderungan tambal sulam perundang-undangan bidang politik bisa dikurangi, peran dan fungsi DPD dapat lebih ditingkatkan. Prioritas DPD saat ini akan lebih realistis bila menggalakkan sosialisasi tugas pokok dan fungsinya sambil membangun jaringan seluas-luasnya guna meningkatkan kapasitas kewenangannya di masa mendatang.

Hal ini pula yang di kemudian hari mengundang permasalahan, sebab tak banyak yang paham bahwa DPD adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem parlemen yang dianut oleh Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

Ke depan DPD perlu memiliki kewenangan legislasi, budgeting, dan pengawasan; setidak-tidaknya sama-sama berhak mengusulkan undang-undang, berhak memutuskan, menyetujui atau menolak undang-undang, pejabat, dan perjanjian luar negeri. Kalaupun tidak sama persis kekuasaannya dengan DPR, minimal harus ”mendekati atau hampir sama”. Jika dua badan yang terpisah, yang satu mewakili parpol dan satunya mewakili rakyat daerah berwenang mempertimbangkan dan memutuskan setiap rencana undang-undang sebelum diberlakukan, maka akan dapat diantisipasi bahaya penetapan undang-undang yang tergesa-gesa dan banyak alpa.

Badan yang satu senantiasa dapat mengawasi dan saling melengkapi badan yang lainnya. Kepentingan daerah-daerah tertinggal (dan daerah miskin seperti Lampung) yang memiliki perwakilan kuat di DPD akan dapat mengimbangi kepentingan parpol atau daerah maju yang mewakili jumlah penduduk besar dan mempunyai perwakilan besar di DPR. Ini merupakan mekanisme “pengawasan dan perimbangan pemerintahan” Check and balances”. Melalui pembagian sebagian kekuasaan dari masing-masing badan perwakilan (DPR & DPD) dalam MPR kepada badan yang lainnya sebenarnya akan lebih menjamin integritas konstitusionalnya masing-masing. Hal itu untuk memastikan transisi Indonesia menjauhi kekuasaan otoriter (sebagai warisan turun temurun) dan diarahkan kepada konsolidasi demokrasi.

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam parlemen Indonesia terlepas dari kuat atau lemahnya fungsi yang diemban oleh DPD, telah mampu memberikan stimulasi positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Sehingga apapun kondisinya, secara prinsip DPD harus tetap dipertahankan dengan mendorong terjadinya penguatan terhadap lembaga tinggi tersebut, baik oleh internal DPD, anggota DPR, maupun masyarakat. Permasalahan bahwa DPD memiliki tugas dan wewenang yang terbatas adalah sebuah realitas politik, namun realitas tersebut tidak sebagai sesuatu yang bersifat baku, melainkan masih mungkin dapat dilakukan perubahan yang sesuai dengan napas demokrasi (Muradi, 2007).

Karena itu, guna meningkatkan kapasitas kelembagaan dan personalnya di masa mendatang, pertama, anggota DPD secara bersama perlu lebih menggalakkan sosialisasi tugas pokok dan fungsinya sambil membangun jaringan seluas-luasnya, dengan membangun dan mendirikan sekretariat bersama anggota DPD di tiap-tiap provinsi. Kedua, baik secara personal maupun kolektif, anggota DPD perlu memiliki tim ahli yang kapabel di daerahnya masing-masing untuk menyerap aspirasi dan menganalisis permasalahan daerah secara lebih akurat (bukan sekedar opini atau asumsi semata). Ketiga, melakukan komunikasi politik dan koordinasi secara berkala dengan para anggota DPR sedaerah, DPRD, pemerintah provinsi, kota dan kabupaten, lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sosial budaya, serta konstituen di daerahnya. Keempat, membangun empathy terhadap persoalan-persoalan masyarakat daerah, misalnya menggalang koalisi antikorupsi, beasiswa pendidikan anak-anak miskin, dan investigasi terhadap potensi konflik komunal.

Akhirnya, semua tergantung kepada kemauan politik para anggota DPD untuk meningkatkan kapasistas dan posisi tawarnya, terutama bagi penguatan fungsi dan peran kelembagaannya sebagai salah satu kamar dalam sistem dua kamar parlemen Indonesia.(Jhon)